Hakikat Negara Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
HAKIKAT NEGARA HUKUM
1. CIRI-CIRI
NEGARA HUKUM
Negara
hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Friedrich
Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri
Rechtsstaat sebagai berikut.
1)
Hak asasi manusia
2)
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin
hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
3)
Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan
4)
Peradilan administrasi dalam perselisihan
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo
Saxon memberi ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut :
1)
Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar
hukum.
2)
Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi
rakyat biasa maupun bagi pejabat
3)
Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang
atau keputusan pengadilan
Disamping
perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai pendapat
mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut
Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum, sebab di dalam
konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu :
1)
Perlindungan HAM
2)
Ditetapkan ketatanegaraan suatu negara; dan
3)
Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara
Prof. Sudargo Gautama mengemukakan 3(tiga) ciri
atau unsur dari negara hukum, yakni sebagai berikut.
1) Terdapat
pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya negara tidak dapat
bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual
mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
2) Asas
legalitas
Setiap tindakan negara harus
berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga
oleh pemerintah atau aparaturnya.
3) Pemisahan
kekuasaan
Agar hak-hak asasi betul-betul
terlindungi, diadakan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan
perundang-undangan, melaksanakan dan badan yang mengadilin harus terpisah satu
sama lain tidak berada dalam satu tangan.
2. INDONESIA
SEBAGAI NEGARA HUKUM
Dasar pijakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum tertuang pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang
menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dimasukkannya
ketentuan ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar
hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah dan harus
merupakan negara hukum.
Sebelumnya, landasan negara hukum
Indonesia ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem
Pemerintahan Negara, yaitu sebagai berikut.
1)
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(Rechsstaat). Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechsstaat), tidak berdasar
atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
2)
Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas,
negara Indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan dipengaruhi oleh
konsep hukum Belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontinental.
Konsepsi negara hukum Indonesia
dapat dimasukkan negara hukum materiil, yang dapat dilihat pada Pembukaan UUD
1945 Alenia IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum yakni pada Bab XIV tentang Perekonomian Nagara dan
Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD 1945, yang menegaskan bahwa negara
turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan
rakyat.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
Negara Hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Norma
hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional;
2. Sistem
yang digunakan adalah Sistem Konstitusi;
3. Kedaulatan
rakyat atau Prinsip Demokrasi;
4. Prinsip
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 (1) UUD 1945);
5. Adanya
organ pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR);
6. Sistem
pemerintahannya adalah Presidensiil;
7. Kekuasaan
kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif);
8. Hukum
bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial; dan
9. Adanya
jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (Pasal 28 A-J UUD 1945).
3. HAKIKAT
HAM DI INDONESIA
Sekitar abad ke 20 perjuangan hak
asasi manusia cukup berkembang dan makin luas tidak hanya tebatas pada hak
politik tetapi juga pada hak – sak lain, seperti yag diajukan presiden AS
Franklin D. Roselvet pada permulaan perang dunia ke II waktu berhadapan dengan
Nizi Jerman. Hak – hak tersebut sebagai The four Freedoms (Empat kebebasan)
yaitu:
- Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech)
- Kebebasan beragama (freedom from religion)
- Kebebasan dari ketakutan (freedom of fear)
- Kebebasan dari kemelaratan (freedom of want)
Hak asasi manusia atau yang
sering dikenal dengan HAM pada hakekatnya merupakan hak – hak fundamental yang
dimilki oleh seseorang dan melekat pada kodrat manusia. HAM dalam ketentuan
pasal 1 angka 1 undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Bahwa
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh Negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabatmanusia.
Menurut pendapat Jan Materson
(dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana
dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
• John Locke menyatakan bahwa HAM adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
• Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam
dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat,
meliputi :
1. Pembunuhan
masal (genisida)
2. Pembunuhan
sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3. Penyiksaan
4. Penghilangan
orang secara paksa
5. Perbudakan
atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran
nama baik
4. Menghalangi
orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan
nyawa orang lain
GAGASAN
NEGARA HUKUM INDONESIA
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Keempat pada tahun 2002,
konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang
menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum
itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang
biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum
adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada
pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya. Gagasan
Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib
dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law
making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai
dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin
tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the
supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang
berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate
interpreter of the constitution’.
Konsep
Negara Hukum Kontemporer
Gagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain
terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga
berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’
dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’
dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti
norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum
sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V.
Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang
berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of
Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri,
bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”2, jelas tergambar bagaimana ide
nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani
Kuno.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah
Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius
Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan
hak asasi manusia.
2. Pembagian
kekuasaan.
3. Pemerintahan
berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan
tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri
penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule
of Law”, yaitu:
1. Supremacy
of Law.
2. Equality
before the law.
3. Due
Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan
oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan
ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai
ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The
International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah
lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and
impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak
diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting
Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara
harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah
menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan
yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan ntara Negara Hukum
Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum
Modern3. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil
dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan
yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula
pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law
in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti
formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam
arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Pembedaan ini dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang
mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika
hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan
semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit
dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantive. Karena itu, di
samping istilah ‘the rule of law’ oleh Friedman juga dikembangikan
istilah ‘the rule of just law’ untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita
tentang ‘the rule of law’ tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensiel daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti
sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap ‘the rule of law’,
pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah ‘the
rule of law’ yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang Negara Hukum di
zaman sekarang. Namun demikian, terlepas dari perkembangan pengertian tersebut
di atas, konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad
ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian
Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat
unsur ‘rechtsstaat’, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya ‘administratieve
rechtspraak’ atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok Negara
Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum Modern itu
dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah karena
konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak dibahas oleh para
ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke 19
ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan
Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping
Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk
pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha
Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena
abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum
kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk merumuskan
secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan praktek
ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.
Menurut Arief Sidharta4, Scheltema, merumuskan
pandangannya tentang unsurunsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru,
yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:
1. Pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam
penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
2. Berlakunya
asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian
hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama
dalam masyarakat bersifat ‘predictable’. Asas-asas yang terkandung dalam
atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah:
a. Asas
legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b. Asas
undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah
dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
c. Asas
non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-undang harus lebih
dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d. Asas
peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi;
e. Asas
non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undangundangnya tidak
ada atau tidak jelas;
f. Hak
asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang
atau UUD.
3. Berlakunya
Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh
mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan
orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya
mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
4. Asas
demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.
Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a. Adanya
mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;
b. Pemerintah
bertanggungjawab dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh badan perwakilan
rakyat;
c. Semua
warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;
d. Semua
tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;
e. Kebebasan
berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f. Kebebasan
pers dan lalu lintas informasi;
g. Rancangan
undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara
efektif.
5. Pemerintah
dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan.
Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut:
a. Asas-asas
umum peerintahan yang layak;
b. Syarat-syarat
fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan
dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
c. Pemerintah
harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan
berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan itu harus diselenggarakan
secara efektif dan efisien.
Muhammad Tahir Azhary5, dengan mengambil inspirasi
dari sistem hukum Islam, mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau
Negara Hukum yang baik itu mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
1. Prinsip
kekuasaan sebagai amanah;
2. Prinsip
musyawarah;
3. Prinsip
keadilan;
4. Prinsip
persamaan;
5. Prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
6. Prinsip
peradilan yang bebas;
7. Prinsip
perdamaian;
8. Prinsip
kesejahteraan;
9. Prinsip
ketaatan rakyat.
Brian Tamanaha (2004), seperti dikutip oleh
Marjanne Termoshuizen-Artz dalam Jurnal Hukum Jentera6, membagi konsep ‘rule
of law’ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap
kategori, yaitu “rule of law” dalam arti formal dan “rule of law”
dalam arti substantif, masing-masing mempunyai tiga bentuk, sehingga konsep
Negara Hukum atau “Rule of Law” itu sendiri menurutnya mempunyai 6
bentuk sebagai berikut:
1. Rule
by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya difungsikan sebagai “instrument
of government action”. Hukum hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat
kekuasaan belaka, tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat
tinggi, serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang menguasai
modal maupun yang menguasai proses-proses pengambilan keputusan politik.
2. Formal
Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas
(rule written in advance) dan tidak boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat
umum dalam arti berlaku untuk semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public,
dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang ‘formal legality’ itu,
diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
3. Democracy
and Legality. Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian. Tetapi, menurut Brian
Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation” demokrasi juga
mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”7.
Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan
hukum yang buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi yang
berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law dalam arti formal
sekali pun, tetap dapat juga timbul ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian
dan prediktabilitas itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat
saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin
stabilitas dan kepastian.
4. “Substantive
Views” yang menjamin “Individual Rights”.
5. Rights
of Dignity and/or Justice
6. Social
Welfare, substantive equality, welfare, preservation of community. Randall
Peerenboom (2004)
Cita
Negara Hukum Indonesia
Dalam rangka merumuskan kembali ide-ide pokok
konsepsi Negara Hukum itu dan pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa
ini, menurut pendapat saya, kita dapat merumuskan kembali adanya tiga-belas
prinsip pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang.
Ketiga-belas prinsip pokok tersebut merupakan pilarpilar utama yang menyangga
berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum
(The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya,
yaitu:
1. Supremasi
Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip
supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law),
pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia,
tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang
‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang
bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut
sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan
dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam
hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara
empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan
tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan yang bersifat khusus dan
sementara yang dinamakan ‘affirmative actions guna mendorong dan
mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat
tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih
maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus
melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi
itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat
hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga
masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat
diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas
Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan
berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law),
yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada
dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi
yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi
harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels).
Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan
birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para
pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’ yang
memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara
mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’)
ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internaregulation)
secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan
oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan
Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ
Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan,
setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan
selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam
cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ
yang tersusun secara vertical.
Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ
Campuran Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman
sekarang berkembang pula adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang
bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, dan
organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi
Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan
Umum
(KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan
lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya
dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang
berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak
mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan
ataupun
pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut
dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan
oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang
memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank
sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber
kekuangan
yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula
lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk
menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6.
Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan
tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka,
dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati
nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya
bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang atau peraturan perundang-undangan,
melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup
di tengah-tengah masyarakat.
7.
Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga
menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya
secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan
tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap
warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative
court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini
penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak
didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu
terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu
bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara
itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang
bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu
sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent
and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8.
Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara
yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga
negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah
konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang
berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan
mengintegrasikannya ke dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada
sebelumnya. Pentingnya peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional
court) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’
antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin
demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi pengujian konstitusionalitas
undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan
dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan
cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah
konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting
dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara
Hukum modern.
9. Perlindungan
Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak
asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses
yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan
secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang
demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna
kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat
penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu
Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan
penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara
yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang
sesungguhnya.
10.
Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di
tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak
boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Karena hukum tidak dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang
berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa
kecuali. Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat) yang
dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara Hukum
yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam
setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11.
Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang
diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui
gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui
gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan
mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan demikian, pembangunan
negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan
‘mission driven’, yang didasarkan atas aturan hukum.
12.
Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang
terbuka terhadap setiap proses
pembuatan
dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh
peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena
sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation
in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan
fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.
Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian,
kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya
memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta
menjamin keadilan dan kebenaran.
13.
Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila.
Karena itu, di samping ke-12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan
Negara Hukum Modern seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas
adalah bahwa Negara Hukum Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha
Esaan dan ke-Maha Kuasa-an Tuhan. Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum
tidak mengabaikan keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang
diyakini sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan
segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum
konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga
bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa
itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga
merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas
keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia Indonesia
hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat
egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan atas kemajemukan dalam
kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila. Dalam sistem konstitusi Negara
kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan.
Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum
perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam
Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’.
Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan.
Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dicantumkan dengan tegas.
Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini
kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13
ciri seperti uraian di atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu
sebaiknya kita pahami.
Comments
Post a Comment